Jumat, 08 Desember 2017

Mantap! Pesantren di Banjar Ini Tak Pernah Minta Bantuan Pemerintah
Sedikitnya 400 orang warga bergotong-royong ikut serta dalam pengerjaan pengecoran pembangunan mesjid di lingkungan pesantren milik keluarga almarhum Kyai Muhammad Sa’dun Sanusi, putera dari almarhum Syeh Sanusi, di Dusun Sukahurip, Blok Pasirlening, Desa/Kec. Langensari, Kota Banjar. Foto diambil Minggu (8/12). Foto: Eva Lativah/HR   
Banjar, (harapanrakyat.com),-
Sedikitnya 400 orang ikut serta secara suka rela dalam pengerjaan pengecoran bangunan mesjid yang ada di lingkungan Pondok Pesantren (Ponpes) keluarga almarhum Kyai Muhammad Sa’dun Sanusi, putera dari almarhum Syeh Sanusi, tepatnya di Dusun Sukahurip, Blok Pasirlening, RT.5, RW.3, Desa/Kec. Langensari, Kota Banjar, Minggu (8/12).
Almarhum Syeh Sanusi adalah seorang tokoh di Langensari yang dulunya dikenal dalam penyebaran syiar Islam, baik di wilayah Langensari maupun di luar daerah.
Mereka yang ikut dalam kegiatan pengecoran itu terdiri dari para santri Ponpes, warga setempat, dan jamaah murid almarhum Kyai Muhammad Sa’dun yang tersebar di setiap DKM se-Kec. Langensari, serta para simpatisan.
Bahkan, ada pula jamaah dari luar kota yang sengaja datang ingin membantu pengerjaan pengecoran masjid, diantaranya dari Jakarta, Purwokerto, Cilacap, Kebumen dan Lampung.
Menurut keluarga Kyai Muhammad Sa’dun Sanusi, bahwa pengecoran bangunan mesjid di lingkungan pesantren didanai dari hasil swadaya masyarakat setempat, para simpatisan dan jamaah.
Pihak keluarga yang namanya enggan dikorankan, mengatakan, sampai saat ini pengelola pesantren belum pernah meminta bantuan kepada pemerintah untuk keperluan pembangunan mesjid, maupun keperluan sarana prasarana pesantren.
“Alhamdulillah, sampai sekarang kami tidak pernah mengajukan permohonan bantuan kepada pemerintah. Semuanya hasil dari swadaya, baik dari masyarakat maupun dari para simpatisan,” kata salah seorang keluarga almarhum Kyai Muhammad Sa’dun, ketika ditemui HR di pesantrennya, Minggu (8/12).
Namun, lanjutnya, pihak keluarga pun tidak memungkiri kalau pemerintah pernah memberikan bantuan, waktu itu bantuan diterima dari DR. dr. Herman Sutrisno, MM., saat masih menjabat Walikota Banjar, yakni uang sebesar Rp.15 juta untuk pembangunan mesjid tahap pertama, dan di tahap keduanya memberikan bantuan berupa material.
“Meski begitu, sampai sekarang kami belum pernah meminta bantuan ke pemerintah, kalau pihak Pemkot atau Walikota waktu itu memberi kepada kami, tanpa terlebih dahulu mengajukan permohonan proposal,  karena kami ingin punya nilai ibadah. Bukan kami merasa jumawa, tapi kami berusaha semaksimal mungkin. Dan untuk pengecoran kali ini kami menggalang dari masyarakat, jamaah serta simpatisan, itu pun kami tidak memungutnya,” tuturnya.
Pembangunan mesjid dilakukan secara gotong-royong antara masyarakat, santri dan jamaah dari setiap DKM yang ada di Kec. Langensari, serta jamaah dari luar daerah. Bahkan, banyak pula warga yang memberikan makanan untuk keperluan konsumsi.
Terjalinnya tali silaturamhi membuat warga menjadi tergugah dengan adanya pembangunan mesjid di lingkungan pondok pesantren keluarga almarhum Kyai Muhammad Sa’dun Sanusi.
Selain itu, pihak keluarga juga mengatakan bahwa sampai saat ini pondok pesantren yang memiliki santri usia 12-20 tahun sebanyak 21 orang, terdiri dari 12 santri pria dan 9 santri wanita, serta santri usia 20-40 tahun sebanyak 10 orang itu belum diberi nama.
“Dulu sewaktu masih ada abah (panggilan kepada Kyai Muhammad Sa’dun Sanusi-Red), beliau pernah bilang nama itu tidak begitu penting, yang paling penting adalah isinya. Jadi sampai sekarang kami belum memberikan sebuah nama bagi pesantren ini. Kami menitik beratkan pada pendidikan pesantren. Dan, Alhamdulillah sudah berjalan,” katanya.
Pihak keluarga juga menyebutkan, santrinya ada yang dari Lampung, Jakarta, Purwokerto, Cilacap serta dari wilayah Langensari sendiri. Mereka tidak dipungut biaya sepeser pun oleh pihak pesantren, baik untuk kepentingan pendidikannya maupun kebutuhan makan sehari-hari para santri.
“Itu amanat dari abah. Selama kita mampu jangan pernah meminta. Untuk kebutuhan santri sehari-hari, kami ada pemasukan dari hasil menanam sayuran. Saya yakin siapa pun orang yang menjalankan ikhtiar dibarengi dengan ibadah, Alloh akan memberikan jalan untuk mendapatkan rejeki,” katanya.
Ditemui di tempat yang sama, Camat Langensari, Moch. Dasuki Soleh, SH., mengaku puas sekaligus bangga dengan adanya kebersamaan serta kekompakan masyarakat dan para jamaah perwakilan dari setiap DKM, dalam pembangunan mesjid di lingkungan pesantren keluarga almarhum Kyai Muhammad Sa’dun Sanusi. Sehingga, kerukunan warga betul-betul masih bisa diandalkan.
“Hal itu membuktikan bahwa melalui keluarganya, ketokohan Syeh Sanusi dan Abah Kyai Sa’dun masih tetap diakui oleh masyarakat maupun para jamaah yang dulunya merupakan murid abah. Dan kepada jamaah-jamaah DKM dan murid-murid abah di luar kota, apa yang sudah dilakukan abah mohon dukungannya. Karena ketokohan di Pasirlening masih muncul,” kata Dasuki. (Eva/Koran-HR)
http://www.harapanrakyat.com/2013/12/mantap-pesantren-di-banjar-ini-tak-pernah-minta-bantuan-pemerintah/

Senin, 04 Desember 2017

belajar posting

Filosofi Penindasan 


Oleh Emha Ainun Nadjib 
 Rakyat saya ini sungguh bandel. Sebagai pemimpin, sungguh saya tak pernah menyangka bahwa manusia bisa sedemikian mbanggel-nya. Susah benar mengatur mereka. Orang diajak bersatu saja kok sukarnya bukan main.  
Mending mengurusi kambing atau sapi.  
Bersatu itu 'kan enak. Alam dan kehidupan sudah memberi contoh sejak dulu.  
Kalau cabe mau bersatu dengan terasi dan brambang, ditambah garam, kan jadi sambal yang nylekit. Apa sih keberatannya? Sekadar bersatu dengan terasi -- kok keberatan. Apa maunya hidup tanpa sambal? Coba kalau berani: bikin undang-undang yang melarang sambal! Saya jamin akan terjadi revolusi.  
Dan revolusi semacam itu belum tentu akan terjadi kalau alasannya adalah bukan sambal. Kalau yang jadi isu sekadar ketidakadilan sosial, konglomerasi yang berlebihan, kediktatoran politik atau masalah-masalah remeh yang semacamnya -- berani taruhan tak akan bisa membuat rakyat bergerak.  
Hanya sambal sajalah yang dijamin bisa menjadi sumber people power 
Ini adalah negeri sambal. Ini adalah masyarakat sambal. Ini adalah kebudayaan dan peradaban sambal.  
Dan sekarang terbukti bahwa terutama di bidang politik, para aktivis jelas tidak mampu meniru persatuan sambal.  
Jadi, saya ini sebagai pemimpin, benar-benar pusing kepala.  
Entah kenapa Tuhan mencampakkan saya ke urusan-urusan di mana saya harus berhadapan dengan anak-anak kemarin sore yang naif-naif.  
Saya ajak merawat persatuan dan kesatuan, rewelnya bukan main. Saya kasih tawaran untuk memiliki kemuliaan jiwa, juga ogah-ogahan.  
Misalnya, kaki mereka saya injak, lantas saya katakan: ''Damai ya? Kamu mau memafaatkan saya atau tidak? Memaafkan itu perbuatan luhur. Tuhan saja banyak sifat pemaaf dan pengampunnya. Tuhan itu ghofur, tawwab, 'afuwwu, ghofar dan lain-lain. Semua itu sifat pemaaf. Coba kamu pikir, Tuhan yang mahabesar dan tak butuh apa-apa saja bersedia memaafkan, kok kamu sok tidak mau memaafkan. Ayo! Mau memaafkan saya atau tidak! Kalau tidak, berarti kamu menentang saya! Merongrong kewibawaan saya!'' Jadi, kalau saya menginjak kaki mereka, itu suatu metode pendidikan untuk melatih kebesaran jiwa mereka. Kalau saya menempeleng kepala mereka, itu untuk menguji keluasan hatinya. Kalau saya menendang seseorang sehingga terlempar jatuh dari kursinya dan ia lantas duduk di kursi bayangan, itu demi menatar keteguhan batinnya. Kalau saya rampok hartanya, saya gusur ladangnya atau saya ambrukkan rumahnya, itu semata-mata kaifiyah atau prosedur agar mereka mengembangkan kecerdasan ilmunya tentang keadilan dan kebenaran.  
Menguji keluasan hati, melatih kebesaran jiwa, mengembangkan ilmu dan meneguhkan akhlak, dan lain sebagainya -- adalah hal-hal yang merupakan inti ajaran Tuhan dan para nabi-Nya. Saya sekadar penerus, ahli waris.  
Di sinilah letak kesalahpahaman rakyat saya. Maklumlah mereka memang masih bodoh-bodoh. Merdeka belum lama. Terlalu lama dijajah oleh Kumpeni dan sebelumnya ditindas oleh raja-raja sendiri. Jadi memang saya memerlukan tahap-tahap pembangunan dan pendidikan jangka panjang. Puluhan tahun. Dan kalau saya boleh buka rahasia: saya tidak mau dinilai oleh Tuhan sebagai pemimpin yang tinggal gelanggang colong playu. Pemimpin yang lari dari tanggung jawab sebelum tugasnya mampu dibereskan dengan tuntas.  
Tidak. Saya bukan tipe manusia yang pengecut dan betina. Sebelum tanggung jawab bisa saya penuhi sepenuhnya, saya tidak akan lari ke manapun. Saya akan tetap panggul tanggung jawab itu, sebagaimana para rasul dulu loro-lopo memanggul risalah mereka, meskipun disakiti, dilukai, difitnah, dirasani, dan disalahpahami.  
Itulah beda antara saya dan kebanyakan pemimpin lain di dunia ini. Mereka pada umumnya melompat dari kursi amanat rakyatnya dan melarikan diri keluar dari balairung tanggungjawab nasionalnya, sebelum tugasnya dituntaskan. Beberapa tahun mereka sudah tak tahan dan angkat tangan.  
Lantas turun dari jabatannya dengan meninggalkan problem-problem. Dan problem-problem itu harus diselesaikan oleh para penggantinya. Para pemimpin baru yang menggantinya, yang tidak ikut menciptakan problem, harus susah payah mengatasinya.  
Itu benar-benar suatu kecurangan sejarah.  
Dan saya tidak. Sekali saya tegaskan: saya tidak! Saya tidak demikian. Saya bukan pengecut licik dan tengik. Saya, dengan saksi Allah, para malaikat dan segala lelembut -- akan dengan teguh memanggul tanggung jawab ini sampai titik darah penghabisan. Rawe-rawe rantas. Malang-malang putung.  
Tapi ya itu -- susah bener menyuruh rakyat untuk bersatu.  
Masyaallah. Tetapi, namanya juga rakyat. Rakyat itu kanak-kanak abadi.  
Susah diajak dewasa. Kalau anak kecil itu kemriyek, suka ribut dan suka berebut apa saja. Kalau orang dewasa bisa lebih tenang dan stabil jiwanya. Sungguh saya mendambakan kedewasaan rakyat. Maunya saya, mbok yang tenang-lah. Saya kasih makan apapun, usahakanlah tenang. Kalau saya kasih peraturan-peraturan, atau bahkan pun kalau saya sendiri melanggar peraturan yang saya bikin, berupayalah untuk tetap tenang. Tujuan saya adalah memang menguji daya ketenangan dalam jiwa mereka.  
Kalau saya menggusur, saya sekadar ingin tahu seberapa kadar kesabaran mereka. Kalau saya ambil makanan lebih banyak dibanding jumlah makanan mereka semua, itu wajar, karena saya memang pemimpin. Moso' pemimpin disuruh kelaparan! Kalau saya menentukan siapa Kepala Satgas, siapa Ketua Partai, siapa Pimpinan Organisasi, berapa hektar sawah untuk keluarga saya, dan lain sebagainya -- itu semata-mata untuk mendeteksi takaran sangka baik nasional mereka. Rakyat saya harus dewasa, harus matang kepribadiannya, tidak gampang bersangka buruk, tidak gampang iri, dengki atau cemburu.  
Misalnya sekali waktu, atau di banyak waktu, sengaja saya menerapkan perilaku yang penuh kemunafikan. Itu apa tujuan saya? Tak lain tak bukan adalah untuk mengetahui secara persis seberapa tinggi ketahanan mereka atas hal-hal yang buruk. Kalau saya sebarkan ketidakadilan, umpamanya, saya ingin mengerti seberapa kukuh hati mereka ditimpa oleh nasib buruk yang menyiksa. Sebagai pemimpin saya tidak mau punya rakyat yang cengeng, yang rewel dan sentimentil. Mereka harus tetap tenang, damai dan bersatu, meskipun ditimpa ketidakadilan dan ketidakbenaran.  
Mungkin terpaksa saya akan menuliskan semua filosofi ini dalam buku-buku.  
Mungkin akan saya cicil sedikit demi sedikit melalui pidato-pidato, agar rakyat saya terdidik. Mungkin juga saya akan menciptakan semacam reportoar drama, entah monolog entah drama kolosal -- mengenai semua ini -- agar saya berlega hati menyaksikan rakyat saya berproses untuk dewasa dan penuh persatuan dan kesatuan. Kalau tidak, saya akan malu kepada dunia. 

Maaf kalau saya suul adab seenaknya aja posting artikel orang, saya tidak punya niat macam-macam hanya sedang belajar posting artikel di blog saya. Piis
 


PP Arriyadloh Assanusiyah


Pondok Pesantren Arriyadloh Assanusiyah merupakan Pondok Pesantren yang baru didirikan, berlokasi di komplek Makam Syekh Sanusi Pasirlening Dsn. Sukahurip 05/03 Desa Langensari Kec. Langensari kota Banjar. Saat ini santri yang mukim berkisar 50 orang yang sebagian besar santrinya merupakan siswa sekolah baik SMP, SMA, maupun SMK yang ada di kecamatan Langensari. bagi yang ingin berkunjung silahkan karena anda akan menikmati susana religius yang kental, yang mungkin akan menanmbah keimanan anda. Thanks